ALIBI
BAB
1
A
|
ku hanya mampu dan hanya bisa menatapnya dari jauh. Aku
hanya bisa melihatnya tersenyum, tertawa bersama teman-temannya dari tempat
ini. Ya, tempat ini yang mungkin tak akan dilihat oleh siswa lain. Kursi yang
berada paling pojok. Dia, hanya dia yang aku perhatikan, bukan para gadis
ataupun pemuda yang mengelilinginya. Aku tahu aku tidak akan mampu
mendekatinya, dan bahkan berbicara dengannya.
Aku bukanlah seorang lelaki yang
pemberani. Anggap saja aku begitu, biarlah orang berkata apa. Tapi pada
kenyataannya, aku selalu menunduk setiap dia menolehkan wajahnya untuk sekilas
menatapku. Biar saja aku selalu dianggap dibilang terlalu percaya diri. Tapi,
sebenarnya memang seperti itu.
“hei apa yang kau lakukan? Apakah kau
hanya akan memandanginya seperti itu? Ayolah teman, meskipun kau memandanginya
sepanjang hari, dia tidak akan menoleh padamu.” Kata temanku. Dasar tidak
berperasaan, mengapa dia bahkan tidak mendukung ku. Setidaknya beri aku saran,
atau semangat, bukan malah menjatuhkanku kedalam jurang yang dalam. Sangat
dalam, bernama jurang cinta.
Bel berdering beberapa kali menandakan
pelajaran akan dimulai. Terlihat dia dan teman-temannya mulai membubarkan diri.
Mungkin karena guru akan masuk. Aku terkejut ketika dia menolehkan wajahnya
kearah ku. Aku tak membalasnya, bahkan malah mengabaikannya dengan menundukkan
kepala. Apa yang aku lakukan? Hei, kenapa kepala ini tak mau terangkat?
Tap..tap..tap.. terdengar langkah kaki
mendekati mejaku. Aku mulai mengangkat wajah, menatap siapa yang menghampiri.
Ternyata dia, ya Tuhan—apa yang harus aku lakukan?
“hei, kenapa kau terlihat bingung? Apa
kau ada masalah—hmm?” tanyanya dengan pelan. Tuhan—bangunkan aku dari mimpi
ini. Lihat saja, dia bahkan sedang berbicara padaku. Saat ini, oh bantulah aku
untuk menjawabnya.
“aku? Aku se–sedang tidak ada masalah.”
Berusaha untuk dingin dan acuh. Arrgh, kenapa aku menjawabnya dengan gugup.
“oh begitu. Lalu kenapa kau selalu
diam, dan terlihat tak bersemangat?” tanyanya lagi. Aku meneguk ludah, berusaha
mencari jawaban. Dia tersenyum tipis, namun bisa mendebarkan hatiku.
“kenapa kau berpikir bahwa aku terlihat
sedang tidak bersemangat?” aku mulai berani. Oh tunggu, jangan-jangan perkataan
ku menyinggungnya. Tolong jangan marah, dan membenciku.
“karena kau hanya selalu diam, dan
duduk dipojokkan, sampai mungkin ada satu atau dua teman mu yang menghampiri mu
dan mengajak mu berbicara ringan.”
“aku malas untuk kemana-mana. Dan aku
lebih suka berada disini, memang ada masalah?”
“oh tentu saja tidak. Tapi, setidaknya
berbaurlah dengan yang lain. Jangan pernah malu untuk melakukan sesuatu. Oh ya,
kalau kau butuh bantuan kau bisa minta tolong padaku. Jangan pernah malu.” Itu
perkataan terakhirnya sebelum akhirnya dia pergi menjauhi mejaku dan mulai
duduk di bangkunya. Aku belum sempat menjawab perkataannya. Seorang guru
matematika memasuki kelas.
“selamat pagi anak-anak.”
“pagi.” Semua murid terlihat
bersemangat pagi ini, termasuk juga dia. Aku tahu dia memang pintar, cantik,
dan tentu saja terkenal. Tidak seperti aku, yang bodoh, tidaklah menonjol,
bahkan aku tidak memiliki kemapuan apa-apa. Sungguh menyedihkan.
“baiklah, apakah kemarin saya
memberikan kalian semua tugas, ataupun pekerjaan rumah?” tanya guru itu.
“sepertinya ada.” Dia menjawabnya. Ah,
begitu rajinnya dirinya, mari kita lihat catatan dalam bukuku, aku memang
mencatatnya, namun tak sedikit pun yang aku pahami. Payahnya diriku. Sejenak
aku mengalihkan pandangan keluar jendela—menatap lapangan basket yang ada. Lalu
aku kembali memperhatikan guru metematika yang sedang menjelaskan suatu materi.
Terlihat dia, ya dia begitu antusias mendengarkan, dan mengikuti setiap
perkataan guru itu.
“baiklah, siapa diantara kalian yang
mau mengerjakan soal yang saya berikan ini—hmm?” Guru itu memberikan sebuah
soal. Semuanya tampak diam tak berkutik. Termasuk juga aku, apa yang bisa aku
lakukan? Maju, dan mulai mengerjakan. Sedangkan aku disini sama sekali tak
paham dengan apa yang diajarkannya.
“kalau tidak ada yang mau maju. Saya
yang akan maju dan mulai mengerjakannya.” Dengan percaya diri. Lihatlah dia
mengangkat tangannya, bersedia menegerjakan soal dipapan tulis itu. Tanpa sadar
aku tersenyum tipis melihatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Tak
sampai lama dia mengerjakan. Oh, sungguh otak yang pintar. Bahkan, karena hanya
hal kecil aku sampai memujinya kembali. Satu kata “sempurna” untuk dia. Dia
lalu kembali ketempat duduknya. Sekilas pandangan kami bertemu. Dia tersenyum
tipis kearahku, aku terdiam—lalu dengan cepat mengalihkan pandangan ku.
Merasakan hawa panas yang menjalari wajahku. Tolong, jangan sampai dia
mengetahuinya.
Dia menatap kearah ku. Aku terdiam,
terpaku pada wajahnya. Ingin aku menundukkan wajahnya. Tapi tak bisa. Hingga
akhirnya dia terkikik menatap ku. Apakah ada yang lucu, oh lebih baik aku harus
mengubahnya sekarang. Lalu aku sejenak memalingkan wajah, mengambil i-phone 5
ku dan mulai berkaca. Ternyata tidak ada apa-apa. Ketika aku berbalik, dia
sudah tak ada.
Bel pertanda pelajaran ini usai pun
berbunyi. Aku cepat-cepat membereskan buku pelajaran ku. Biasanya jika tidak
menyendiri dikelas, aku berada di perpustakaan sekolah. Duduk disudut ruangan,
sembari membaca buku. Namun, karena hari ini aku malas berada diperpustakaan
aku akan menghabiskan waktu istirahatku dengan memainkan i-pad ku didalam kelas.
“halo,!” panggil seseorang. Aku tak
mendengarnya.
“halo, bumi kepada Rico. Rico Micello
bisakah kau mendengarku?” Tanyanya lebih keras. Seketika saja aku tersentak.
“ah, ya, ada apa kau memanggilku?
Erika?” aku menatapnya dengan kebingungan.
“kau mau ke cafeteria bersamaku? Aku
akan mengenalkanmu dengan teman-teman ku. Bagaimana—hmm?” dia menatap ku dengan
penuh permohonan. Aku bingung antara mengiyakan atau tidak. Kalau aku menjawab
iya pasti saja aku akan menanggung malu. Kalau tidak pastikan saja dia akan
kecewa dengan ku. Setelah berpikir sejenak, aku mendesah pelan.
“baiklah aku akan menemanimu.” Aku
menjawabnya dengan lirih. Berharap dia tak mendengarnya. Tapi, sepertinya
dugaan ku salah. Dia mendengarnya dengan jelas, sangat jelas. Dengan cepat dia
menggandeng tangan ku erat, membawaku menuju cafeteria.
Di sebuah meja yang berada di pojok
cafeteria, terdapat segerombol orang-orang dengan gaya yang bagus-bagus. Aku
menjadi malu, dan mulai menundukkan wajahku. Sesampainya di meja itu, aku agak
sedikit menjauhkan diri dari mereka. Dia terlihat berbicara lirih dengan
gerombolan itu.
“hei, kemarilah. Baiklah, sekarang kau
bisa memperkenalkan dirimu?” dia mulai menyuruhku. Keringat dingin membasahi
pelipis ku, tangan, dan tubuhku mulai gemetar bukan karena takut, tapi karena
gugup. Aku bingung harus berkata apa.
“ba–baiklah namaku Rico Micello
Anderson. Ehmm.. oke, aku tahu aku bukanlah anak dengan kemampuan menonjol
seperti kalian. Aku jelek, kuper, bahkan aku pun tidak pintar. Aku tahu, disini
aku pasti akan kalian cemooh bukan. Tidak usah diam, dan memandangiku seperti
itu. Aku bukanlah seseorang dengan tampilan good-looking. Okey.” Aku menghela
nafas panjang. Hei, tunggu dulu darimana aku mendapatkan kemampuan berbicara
dengan penuh keberanian seperti ini. Ah, sudahlah tidak usah dipikirkan, itu
tidaklah penting.
Mereka lalu tersenyum melihat ku. Aku
mendeteksi arti senyuman orang-orang yang ada dihadapan ku sekarang ini.
Ternyata mereka benar-benar tulus, tak mengandung atau menyiratkan adanya
cemoohan. Sepertinya semua dugaan ku selama ini salah. Maafkan aku, mungkin aku
harus mulai mengubah sikapku.
“nah, karena kau sudah memperkenalkan
dirimu, sekarang aku akan memperkenalkan teman-teman ku ini.” Katanya dengan
penuh semangat. Dia mulai menunjuk satu-persatu teman-teman yang duduk di
kursi.
“baiklah aku mulai dari sebelah sini.
Ok, yang ini namanya Diego ya, Diego Arnold. Yang ini namanya Danny Michael,
biasa di panggil Danny. Sedangkan tiga gadis-gadis cantik ini bernama Angel,
Katie, dan Vera. Oh aku hampir melupkan satu orang, yap, dia orang paling
pintar menurutku, namanya Sena. Dan aku sendiri, kau sudah tahu namaku bukan?” tanyanya
seraya mengedipkan matanya yang indah. Aku meneguk ludah.
“ya, aku memang sudah mengetahui
namamu.” Aku berkata cepat, bahkan tanpa jeda.
“haha, baguslah. Oh ya, karena kau
sudah disini. Aku akan mengajak mu masuk dalam kelompok ini.”
“hah? Tidak aku tidak mau.” Upss aku
membekap mulut ku. Apa yang aku katakana baru saja. Aku dengan berani
menolaknya. Dia dan teman-temannya terdiam, dan terkejut melihat aksiku baru
saja. Apakah aku bagaikan opera sabun.
“oh kalau kau tidak mau juga tidak
apa-apa. Kami tidak akan memaksamu. Aku menawarimu, hanya ingin mengubahmu dan
mengajarimu. Memangnya tidak boleh hah?”
“ya bukan begitu? Aku hanya merasa
bahwa aku tidak pantas masuk dalam kelompok ini. Lagi pula kalian sangat tahu
kan bahwa aku bukan orang seperti kalian. Aku juga tidak ingin merepotkan
kalian.” Aku berbicara begitu panjang. Mereka terdiam. Lalu aku melihat Danny
berdiri dan menghampiri ku. Dia merangkul ku seakan aku adalah teman baiknya.
“hahaha, siapa yang menganggap mu
seperti itu. Jangan malu untuk memulai sesuatu. Hal yang kau lakukan apakah
menganggu orang lain?” dia menatap ku, lalu menatap kearah semua teman-temannya.
Semuanya mengangguk-angguk menyetujui perkataan Danny. Ya tuhan, apa yang harus
aku lakukan sekarang.
Semuanya masih menunggu persetujuan ku.
Akhirnya aku pun mengangguk dalam. Lalu mulai menunduk.
“baiklah, aku akan bergabung dengan
kalian, dan menjadi anggota kelompok ini.” Aku tersenyum setelah berkata
begitu, begitu juga dengan dia dan teman-temannya.
Aku dan mereka berjalan kembali menuju
kelas. Karena tanda peringatan istirahat berakhir sudah berbunyi beberapa menit
yang lalu. Ternyata murid Elite Senior High School tidak seburuk yang aku kira.
Semakin menyenangkan saja bersekolah disini, dan tentunya mengenal mereka. Dulu
aku selalu berpikir bahwa orang-orang yang seperti aku akan diabaikan, dianggap
tidak ada, dan tentunya dikucilkan. Semenjak hari aku mengenal dia, mengenal
teman-temannya seperti sekarang aku mengubah semua pemikiranku.
Aku bahkan tidak pernah menyangka kalau
sekarang aku sedang berjalan dengan orang-orang good-looking. Hal ini tidak
akan pernah aku lupakan.
“baiklah, mulai besok kau akan kita
ajari, dan mulai belajar bersama kita.” Kata Sena. Sepertinya benar kata Rika,
dia orang yang paling pintar dikelompok ini. Dia bahkan sudah menyuruh ku untuk
belajar bersama besok.
“tentu saja.” Jawabku singkat, semua
tertawa. Aku hanya diam memperhatikan. Tak sadar bahwa aku sudah sampai dikelas
ku. Ternyata kelas sedang ramai, sepertinya tidak ada gurunya, entah kemana.
Aku berjalan menuju bangkuku. Membuka i-phone ku, melihat apakah ada pesan yang
masuk. Ternyata tidak ada, lalu aku mulai membuka i-pad ku. Membuka permainan,
dan memilih satu permainan untuk dimainkan. Saat ini aku sedang bosan.
“jangan terlalu banyak bermain game.
Seluruh otak mu akan terisi dengan game, dan selalu memikirkan strategi untuk
menang.” Kata seseorang yang membuatku terkejut. Ternyata Rika yang tiba-tiba
saja sudah duduk disamping ku.
“aku bosan. Jika aku bosan apa yang
harus aku lakukan, jadi lebih baik aku bermain game saja. Lumayan untuk
mengusir kebosanan itu.” Jawabku.
“hei, tentu saja banyak cara untuk
mengusir sebuah kebosanan. Bukan hanya dengan bermain game. Bukannya aku
melarang mu untuk bermain game, namun jangan terlalu banyak. Lebih baik kau
ikut dengan ku.” Dia lalu menarikku. Aku memegang i-pad ku erat. Ternyata, dia
menuju ke tempat teman-temannya berada, yaitu di atap sekolah. Mereka semua
duduk melingkar.
“halo semuanya. Bagaimana aku berhasil
membawanya kemari bukan?” dia menyeringai.
“hahaha, aku akui kau berhasil juga.
Bagus kalau begitu.” Diego mengiyakan.
“wow, kau membawa i-pad. Boleh aku
meminjamnya—hmm?” Danny bertanya, disambut anggukan Katie.
“tentu saja, pinjamlah jika kau mau.”
Aku memberikannya kepadanya. Sena memulai pembicaraan. Dia terlihat begitu
dewasa, dan ya berwibawa. Hah, kapan aku akan seperti dirinya. Berani berbicara
didepan banyak orang.
“hari munggu besok kita akan belajar
dimana?” dia memulai pendiskusian tempat belajar kali ini.
“bagaimana kalau dirumah Rico. Kita kan
belum kesana, dan juga dia anggota baru.” Rika member saran. Aku terkejut,
ingin mengelaknya, tapi tak punya cukup keberanian.
“kalau aku terserah saja. Bagiku semua
tempat itu enak untuk belajar.” Vera terlihat menyetujui, disambut beberapa
anggukan dari Diego, Danny, Katie, dan Angel. Aku makin membelalakkan mata
saja.
“ya kalau begitu, kita tinggal
menanyakanya pada sang pemilik rumah yaitu Rico. Apa kau keberatan?” Sena
mengalihkan pandangannya padaku. Aku terdiam karena semua mata akhirnya tertuju
padaku.
“aku memang tidak keberatan. Tapi,
ayolah kenapa harus rumahku?” aku berani untuk bertanya kembali kepada mereka.
“karena kau anggota baru. Sudahlah
tidak apa-apa kan. Karena kau tidak keberatan. Minggu besok di tetapkan belajar
kelompok di rumah Rico.” Keputusan Sena membuat ku diam. Lebih baik aku
mengiyakan saja. Mungkin saja aku akan menjadi lebih baik setelah berkumpul
dengan mereka.
Setelah mendiskusikan tempat belajar,
kami semua sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Tunggu—hei, sejak kapan
aku mengganti kata aku dan mereka dengan kami. Ah sudahlah lupakan, mungkin
memang seharusnya aku menjadi teman-teman mereka. Aku terdiam, dan duduk
disamping Danny yang sedang memainkan slah satu game yang ada dalam i-pad ku.
Aku tertawa terkadang ketika melihat mereka kalah, atau berdebat dalam bermain.
Semua tidak ada yang mau mengalah.
Dia duduk di pojok atap sembari membaca
sebuah novel yang sepertinya novel romansa. Ah, biasalah para gadis yang suka
dengan novel romansa. Berharap bahwa kisah cintanya akan sama dengan novel. Aku
tersenyum tipis melihatnya.
Aku melepaskan kacamata ku, dan mulai
merebahkan badanku di lantai atap. Menikmati hembusan angin yang menerpa
wajahku. Menatap awan-awan putih yang berarak diangkasa. Damai sekali.
Sebenarnya aku malas memakai kacamata seperti ini, padahal aku tidak memiliki
gangguan mata sedikitpun. Ketika aku membangunkan badan ku, semuanya menatap
kearah ku. Aku cepat-cepat mengambil kacamataku dan segera memakainya.
“tunggu!” Diego mencegah ku memakai
kacamata itu, dengan memegang kedua tanganku.
“jangan memakainya.” Cegahnya kemudian.
“memang kenapa jika aku memakainya.
Lepaskan, dan biarkan aku memakainya.” Aku melepaskan tangan ku, menghempaskan
tangan Diego.
“kau lebih bagus jika tidak memakai
kacamata. Apakah kau mempunyai gangguan dalam penglihatan?” tanya Angel.
“ya, aku mempunyainya.” Sanggah ku
cepat. Jika tidak pasti mereka akan meengintimidasi ku terus-menerus.
“tapi aku tidak mempercayainya.” Katie
terlihat berpikir. Dahinya berkerut, dan dia menyipitkan matanya.
“sudahlah, pasti lain kali dia juga
akan memberitahukannya.” Rika mulai melerai acara intimidasi tersebut. Aku
menghela nafas lega, akhirnya dia menolongku juga. Hah, ingin aku mengucapkan
terimakasih namun tak bisa.
“baiklah, kalau begitu sebaiknya aku
kembali ke kelas saja. Ayo cepat mana i-pad ku.” Aku meminta i-pad ku dari
tangan Danny.
“hah? Aku masih ingin bermain.
Ayolahh….” Danny memohon kepada ku untuk memberikan i-pad ini. Sebenarnya aku
tidak pelit. Tapi, bagaimana ini. Aku memminjamkannya atau tidak ya.”
“baiklah, aku meminjamkannya.
Kembalikan saat pulang sekolah saja tidak apa-apa.” Aku memutuskan untuk
meminjamkannya.
“ah kau baik sekali. Tenang saja tidak
sampai pulang sekolah pun aku sudah mengembalikan akan aku titipkan kepada
Rika.” Katany dengan mengacungkan ibu jarinya.
Aku tersenyum tipis, lalu mengangguk
pelan menanggapi kata-kata Danny. Aku akhirnya berpamitan, mohon ijin kepada
mereka untuk pergi ke dalam kelas. Aku membuka pintu atap, dan berjalan
menuruni tangga. Sebenarnya aku masih sangat ingin berkumpul dengan mereka.
Namun, aku masih canggung dan masih malu untuk membuka pembicaraan seperti Sena
tadi. Aku selalu membayangkan bahwa aku yang seperti itu.
Elite Senior High School sudah mulai
sepi. Tentu saja, karena bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu. Meski
masih ada beberapa murid yang tinggal untuk melakukan kegiatan lain di sekolah
ini. Termasuk aku. Sembari menunggu sopir ku datang menjemput ku, aku
berkeliling mengitari sekolah elite yang besar ini. Maklum, masih kelas 1 dan
baru disini, jadi aku masih belum seberapa mengenal sekolah ini dengan baik.
“tuan muda bisakah kita pulang
sekarang.” Supir ku ternyata sudah datang, dan sekarang menghampiriku yang
sedang duduk di taman.
“ya tentu saja, kita akan pulang.” Aku
bangkit dari tempat duduk ku. Aku merasa ada seseorang yang mengambil tas
punggung ku. Aku pun menoleh.
“sudahlah, aku bisa membawanya sendiri.
Tidak usah dibawakan.” Aku memintanya untuk tidak membawakan tas ku. Ya, tentu
saja aku ingin membawanya sendiri. Lagi pula aku juga sudah besar. Masa iya,
tas saja harus dibawakan. Aku berjalan mendahuluinya. Membuka pintu mobil
bagian belakang, lalu meletakkan tasku dikursinya. Dan mulai duduk didepan, di
samping supirku.
Aku memang lebih suka duduk di depan,
selain bisa melihat jalan lebih leluasa, juga karena suka. Mobil ku meluncur
dengan tenang membelah jalanan. Aku menatap setiap mobil yang lewat. Tak lama,
akhirnya aku sampai dirumah mewahku. Rumah bak istana ini terkadang membuatku
tidak betah.
“aku pulang.” Seruku kedalam. Berharap
orang tuaku menyambutnya. Namun, sepertinya itu hanya angan belaka. Bukan orang
tuaku yang menyambutnya, tapi para pelayan rumah ku.
“lho tuan muda sudah pulang. Mari tuan
muda saya akan bawakan barang-barang bawaan anda.”
“tidak perlu. Aku bisa membawanya
sendiri.” Aku mengelaknya dengan halus. Tidak seperti biasanya yang hanya diam
lalu pergi kedalam kamarku.
Kamarku yang besar dan luas, dengan
kasur berukuran king size. Dan sebuah TV besar menhadap kasur. Computer
lengkap, dan sebuah laptop. Kamar mandiku juga ada didalam kamarku. Kamarku dan
rumah ku memang besar, mewah. Tapi, sungguh aku tidak pernah mendapatkan
kenyamanan didalamnya.
Aku segera berganti pakaian, dan menuju
kebawah untuk makan. Menatap meja makan ku terdapat banyak sekali makanan enak.
“papa dan mama hari ini pergi kemana
lagi?” tanya ku kepada salah satu pelayan ku.
“hari tuan sedang pergi ke Australia,
untuk menemui klien. Mungkin akan pulang lusa.” Katanya dengan pelan, dan
dengan menundukkan kepala. Aku tahu, dia begitu karena takut aku akan marah.
Marah, oh tentu saja tidak aku tidak akan marah kepada mereka. Untuk apa, tidak
menguntungkanku.
0 komentar:
Posting Komentar